Desainmu Untuk Siapa ? – Antara Perancangan dan Disabel

/
0 Comments


“Kami meminimalkan kata minta tolong atau tidak bisa
namun memaksimalkan kata bisa dan mencoba”- Arina Hayati


Plasa Hima Jurusan Arsitektur ITS – Kehadiran penyandang disabel di sekeliling kita terkadang hanya dipandang sebelah mata. Bahkan lingkungan di sekitar kita pun terkesan meng‘anak-tiri’ kan mereka. Lalu bagaimana kah dengan kita sebagai mahasiswa arsitektur yang kelak akan turut berperan sebagai perancang yang harus mampu menyediakan fasilitas kepada semua pengguna secara merata bagaimana pun keadaannya ?

Diskusi sosial kebangsaan yang diadakan pada hari Rabu (6/3) di kampus Arsitektur ITS ini mengangkat tema “Untuk siapa desainmu ?” yang mengaitkan arsitektur dengan disabel. “Kami penyandang disabel adalah orang-orang yang harus bisa survive”, ungkap Iibu Arina Hayati. Pembicara sekaligus mantan dosen jurusan arsitektur yang kini tengah mengambil studi S3 ini adalah salah satu penderita disabel sejak berusia enam bulan. Mengalami keterbatasan ternyata tidak menyurutkan semangat Ibu Ariani untuk terus menempuh pendidikan – bahkan mencari pengalaman hingga ke Inggris dan Jepang. Pengalaman dan problematika yang dihadapi oleh ibu Arina inilah yang ingin dibagikan agar pandangan dari Mahasiswa Arsitektur ITS – sebagai salah satu pihak yang kelak akan terlibat dalam perancangan dan perencanaan – dapat terbuka. Karena tidak bisa dipungkiri, disabel ini tidak hanya menyangkut aspek fisik, namun jauh hingga aspek sosial dan lingkungan.

Sejauh ini tidak banyak ditemui fasilitas yang menunjang kebutuhan para disabel. Sekalipun ada, terkadang fasilitas dibuat tanpa memperhatikan standar yang berlaku. Sehingga akhirnya, fasilitas ini tidak dapat digunakan karena justru membahayakan penggunanya. Ke-tidak-bergunaan ini kadang terjadi karena pihak penyedia tidak mengkomunikasikan fasilitasnya dengan baik kepada pihak pengguna. “Arsitek harus totalitas dalam mengerjakan sesuatu, yang mana suatu rancangan harus bersifat universal design. Semua orang dapat menggunakannya tanpa terkecuali”, cetus Bu Arina. Hal ini tentu berhubungan juga dengan mengubah mindset dari kebanyakan masyarakat yang menganggap bahwa pemenuhan kebutuhan dari penyandang disabel ini hanya lah memenuhi keingininan salah satu pihak. “Padahal akses yang disediakan bisa juga mempermudah kepentingan semua pihak, baik disabel maupun normal”, tambahnya.

Di akhir diskusi, Ibu Arina mengungkapkan harapannya kepada seluruh mahasiswa untuk peka terhadap lingkungan di sekitarnya. Agar mampu menghasilkan rancangan sebagai hasil dari rasa empati, bukan simpati semata. “Mulailah merancang apapun sekarang secara totalitas. Pikirkan hal-hal kecil dan pahami lah semuanya dengan baik”, tutupnya. (adn)  


You may also like

No comments:

Majalah ARCHISPACE ITS 2014. Powered by Blogger.