Berusaha membangkitkan atmosfer arsitektur diluar ruang kuliah, belakangan menjadi pembakar semangat teman-teman dari HIMASTHAPATI untuk mengadakan diskusi kecil-kecilan. Sempat dilakukan pembicaraan mengenai beberapa topik diskusi, namun ketika menarik garis dari berbagai topik itu sendiri, nyatanya banyak dari kita yang tidak memahami arsitektur itu sendiri apa. Nggak akan pernah berada pada frekuensi yang sama dalam mendefinisikan arsitektur.

Sampai kemudian debat kusir kecil-kecilan tadi berakhir di sebuah kutipan dari seorang arsitek “Everything is architecture!” Percuma aja, mau kita debat sampai kapanpun garis kita tidak akan pernah sama dan kita semua pun tau. Lalu kemudian muncul ide untuk mengadakan diskusi mengenai Everything is Architecture. Ya, sesederhana debat yang tak berujung, dan sesederhana kehausan akademisi akan diskusi.
Dalam waktu yang sesingkat-singkatnya, video teaser sudah selesai dibuat, denganbackground kampus kita sendiri. Tweet-tweet dengan hashtag #EverythingIsArchitecture menghujani timeline saya seketika malam itu broo. Dan semuanya menarik, semuanya! Bahkan kemudian sukses menyenggol dosen dosen kita untuk join ngetweetnya.
Ini beberapa tweet yang saya anggap menarik, tenang, bukan tweet saya sendiri
Hidung adalah rumah untuk upilku, kuku adalah rumah untuk dakiku, mata adalah rumah untuk belekku. #everythingisarchitecture - @dyanwijasena, Mahasiswa Arsitektur ITS
definition are important, but the consequences are the one that are really does matter. #everythingisarchitecture - @endy_y_prasetyo, Dosen Arsitektur ITS
Tuhan-pun berarsitektur #everythingisarchitecture - @idanedan, Mahasiswa Arsitektur ITS
bagi saya masih … “arsitektur adalah (r)uang” #everythingisarchitecture - @rismabuana88, Alumni Arsitektur ITS
Kan. Dari background yang sama aja, definisinya berbeda-beda. Bagaimana jika dari belahan dunia yang jauh dari kata sama?
Dari jiwa-jiwa yang terusik, yang nyempetin ngetweet ditengah tekanan deadline, dalam waktu 5 hari persiapan diskusi #EverythingIsArchitecture sudah ready. Tapi terereng, jam dua siang ada deadline pengumpulan perancangan interior untuk angkatan 2011, dan jika saya tidak salah, ada kelas CAAD untuk angkatan 2012, apalagi… Ada rapat kurikulum dadakan di ruang dosen, sehingga kedatangan pembicara juga bikin galau.
Tapi tak lama kemudian acara dibuka Linda lewat basa basi ngobrolin apa itu arsitektur dari sudut pandang mahasiswa, yang kemudian akhirnya acara resmi dibuka oleh Andin, dan dimoderatori oleh Nisma. Diskusi dibuka oleh pertanyaan “arsitektur itu apa?” pertanyaan yang menurut saya sudah bisa merangkum seluruh isi otak muka-muka kebingungan yang sore itu menyempatkan diri duduk manis di Selasar Galeri jurusan.
Namun, sesungguhnya perjalanan menemui arsitektur itu panjang. Mas Rigan, salah satu pembicara diskusi sore itu, menganggap bahwa arsitektur itu proses. Awalnya ia adalah mantan calon mahasiswa elektro yang suka menggambar dan terdampar di pilihan keduanya, arsitektur. Siapa yang menyangka kalau kemudian Mas Rigan bisa menghasilkan karya-karya brilian yang mondar-mandir dari sayembara satu ke yang lain, hingga akhirnya ia melanjutkan kuliahnya di jenjang S2 di prodi Perancangan Arsitektur. Pak Endy di lain pihak juga berada pada frekuensi yang sama, bermodal suka menggambar berani menggambil resiko mengambil jurusan yang katanya akan merenggut kehidupan nyata kita haha. Pak Endy, mengutip Peter Eisenman, bahwa “The ‘real architecture’ only exists in the drawings. The ‘real building’ exists outside the drawings. The difference here is that ‘architecture’ and ‘building’ are not the same.” Arsitektur itu sebuah konsep, dimana konsep itu hanya ada dalam kertas gambar, kecuali kita membatasi arsitektur dalam lingkup ‘yang harus terbangun’. Keduanya adalah contoh-contoh produk sukses Arsitektur ITS, yang mana mereka pun berbeda persepsinya pada arsitektur.
Beberapa mahasiswa turut menyampaikan pendapatnya mengenai perjalanan berarsitektur, yang menyentil para pembicara ketika Mas Uzi mengungkit mengenai pemikiran Zumthor dalam bukunya thinking architecture yang kemudian menjadi kontradiksi tersendiri pada ideologi Eisenman, yang benar-benar menjauhkan arsitektur dari detail. Arsitektur itu keseluruhan, big frame, sementara Zumthor begitu menghargai gagang pintu rumah neneknya yang ia kunjungi sebagai sebuah apresiasi pada detail arsitektur. Bahkan hingga menyangkut mengenai publikasi arsitektur, apakah dalam arsitektur itu bisa diperjualbelikan? Apakah arsitektur itu bisa dihadapkan pada pertentangan idealisme dan tuntutan kehidupan? Baik pada konsep rumah murah yang mampu membangkitkan nama Yu Sing menjadi arsitek kenamaan, yang sebelumnya sempat di inisiasi oleh Adi Purnomo, mungkin bedanya hanya pada proses publikasinya. Bahkan kini ada arsitek yang menjual jasanya 10.000/m², yang kemudian namanya membesar hingga ke Jepang akan penjualan jasanya yang sangat murah. Namun, apabila ditarik garis, semua arsitek pasti berdefinisi, dan apa yang didefinisikan oleh pribadinya masing-masing akan menjadi sebuah akar pada prosesnya berarsitektur. Yu Sing pun yang memulai karirnya dengan sebuah artikel rumah murah juga, yang hingga kini menekuni arsitektur sebagai jembatannya pada pengabdian masyarakat.
Lalu kemudian, jika memang arsitektur itu general, dan tidak ada pernah yang sama, lalu mengapa kita mempelajari arsitektur yang tidak pernah satu irama? Atau bahkan untuk apa melakukan sebuah diskusi yang sebenarnya tidak akan menghasilkan kesimpulan? Dan jika kita bebas berdefinisi, sampai kapan? Apakah ada batas yang mengakhiri petualang kita berdefinisi?
Pak Endy dengan cantik menjawab, tanpa belajar arsitektur, tanpa mengadakan diskusi ini, kita tidak akan pernah tau bahwa arsitektur itu begitu banyak definisinya. Seperti tweet Mas Aryo dalam twitternya @mahaardika yang saya kutip berikut:
arsitektur itu lantai keramik, dinding cat, pakai plafon, atap genteng, ruangannya luas2 versi orang awam #everythingisarchitecture
arsitektur itu bangunan yg bentuknya bagus, material mahal, bersih, rapi, berteknologi mutakhir dll versi media #everythingisarchitecture
Dan mengenai batas, batas itu ilusi yang kita ciptakan sendiri oleh masing-masing individunya. Konteks yang kemudian membatasi pemikiran kita yang liar.
Ah, pada akhirnya saya tidak akan pernah mengerti. Dan biarkan saja arsitektur tetap menjadi minyak bagi bara api kehidupan kita semua, meski tak jelas minyak jenis apa dia bisa menyulut api begitu besar.
Tapi kemudian meski tak berkesimpulan, diskusi lalu sangat memuaskan, dan membuat ketagihan!
Saya mau lagi! #EverythingIsArchitecture (ast/blogpribadi)
Majalah ARCHISPACE ITS 2014. Powered by Blogger.