Memahami Arsitektur Komunitas Melalui KPP Angkatan 2012

/
0 Comments


Jurusan Arsitektur Plasa Rumput (8/04) – Seperti tahun sebelumnya, KPP (Kegiatan Pasca Pengaderan)  mahasiswa jurusan arsitektur kembali mendatangkan seorang arsitek ternama Indonesia. Jika pada KPP Elang -angkatan mahasiswa arsitektur 2011- mendatangkan Putu Mahendra sebagai narasumber dengan mengangkat tema ‘berpikir out of the box’, KPP Bekicot -angkatan mahasiswa arsitektur 2012- kali ini mendatangkan seorang tokoh arsitektur komunitas yang namanya telah bergaung hingga dunia internasional yaitu Eko Prawoto. Seorang arsitek dan seniman instalasi serta alumnus arsitekur Universitas Gadjah Mada yang saat ini juga aktif sebagai dosen Jurusan Arsitektur Universitas Kristen Duta Wacana Yogyakarta.

Tidak banyak yang tahu apa itu arsitektur komunitas, karena jika dilihat dari asal muasalnya arsitektur ini awalnya bermula dan berkembang pesat di Kota Yogyakarta. Sementara di wilayah lain seperti Surabaya belum begitu terlihat. Saat ditanya apa itu arsitektur komunitas, Eko Prawoto tidak menjelaskan secara gamblang, namun lebih menjelaskannya melalui pemaparan fenomena-fenomena kemasyarakatan yang terjadi di Indonesia. Beliau memberikan gambaran bagaimana kondisi masyarakat Indonesia yang tidak hanya terkomposisi atas makhluk-makhluk menengah ke atas, namun juga tidak terlupa mereka yang berada di golongan menengah ke bawah. Begitu pula dalam hal sasaran arsitektur. Arsitektur hadir bukan hanya untuk para kaum elite semata, namun juga hadir sebagai penolong kaum miskin untuk mencapai penghidupan yang lebih baik. Karena itu, arsitektur komunitas muncul sebagai pengubah paradigma arsitektur yang semenjak dahulu dikenal hanya melayani para kaum berduit.

Secara berseberangan, arsitektur komunitas ini hadir di tengah maraknya arsitektur komersil, yang iconic, yang akrobatik, dan yang berusaha menunjukan identitas personal arsitek yang merancangnya. Ini yang disebut Eko Prawoto sebagai narsisme para arsitek masa kini yang berusaha menunjukkan kehebatannya dalam merancang tanpa memperhatikan lingkungan di sekelilingnya. Sebagai bangsa yang dikenal dengan sifat kegotong-royongannya maka sudah seharusnya nilai kegotong-royongan itu juga dibawa dalam berarsitektur karena arsitektur menurut beliau dibangun bukan secara personal, namun bersama-sama secara komunal. Arsitektur bukan produk kerja keras individu tetapi produk hasil kerja sama oleh banyak tangan. Sebagai mahasiswa, memang sulit untuk mau memulainya, namun berusaha memahami selagi umur masih dini adalah langkah arif yang dapat dilakukan mulai dari sekarang. (ins)



You may also like

No comments:

Majalah ARCHISPACE ITS 2014. Powered by Blogger.